
Pengembangan Desa Tanjung Karang sebagai Desa Wisata Menuju Pariwisata Kerakyatan Berkelanjutan
Terletak di perbatasan langsung dengan Malaysia, Desa Tanjung Karang telah lama dikenal sebagai destinasi wisata pesisir yang menawan. Daya tarik utama desa ini adalah keindahan pantainya dan kuliner laut yang khas. Namun, ketergantungan pada satu jenis atraksi membuat perkembangan pariwisata desa ini mengalami pasang surut.
Menyadari tantangan ini, Pemerintah Desa Tanjung Karang bersama masyarakat mengambil langkah progresif: mengambil alih pengelolaan pantai dan merencanakan pengembangan desa sebagai Desa Wisata, yang menyuguhkan tidak hanya panorama alam tetapi juga kehidupan sosial-budaya sebagai atraksi wisata utama.
Konsep desa wisata yang diusung Tanjung Karang tidak sekadar menghadirkan keindahan alam, tetapi juga experience-based tourism—di mana wisatawan dapat hidup berdampingan dengan warga lokal, ikut serta dalam aktivitas keseharian seperti bertani, melaut, membudidayakan rumput laut, hingga membuat kerajinan tangan berbahan lokal.
Wisatawan yang datang bukan hanya sebagai penonton, melainkan sebagai peserta aktif dalam dinamika kehidupan desa. Dengan menghirup udara segar, menikmati makanan tradisional di homestay warga, dan menyaksikan seni budaya lokal di Balai Desa, pengalaman ini memberikan nuansa yang jauh dari hiruk-pikuk turisme massal.
Sinergi Pemerintah, Akademisi, dan Masyarakat
Untuk mewujudkan mimpi menjadi desa wisata berkelanjutan, Desa Tanjung Karang menggandeng berbagai pihak. Salah satunya adalah Tim Pengabdian Kepada Masyarakat dari Politeknik Negeri Nunukan, yang mengadakan sosialisasi dan pelatihan bertema “Pengembangan Desa Tanjung Karang sebagai Desa Wisata Menuju Pariwisata Kerakyatan Berkelanjutan.”
Kegiatan ini bertujuan menumbuhkan pemahaman masyarakat terhadap konsep kepariwisataan yang berbasis komunitas, ramah lingkungan, dan berakar pada budaya lokal. Metode ceramah, diskusi terbuka, dan pelatihan praktis digunakan untuk mendalami isu-isu seperti:
- Ciri masyarakat pariwisata
- Modal dan dampak pariwisata
- Pentingnya sanitasi dan hospitality
- Branding destinasi melalui media digital
- Pembentukan dan penguatan kelompok sadar wisata (Pokdarwis)
Transformasi dari pariwisata massal ke pariwisata alternatif menjadi kunci penting. Model lama yang mengejar jumlah kunjungan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan seringkali berujung pada kerusakan ekosistem, pencemaran, hingga erosi budaya lokal.
Sebaliknya, model desa wisata menawarkan solusi: pendekatan yang mengutamakan pelestarian lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal. Dengan demikian, masyarakat tidak hanya menjadi penonton, tapi juga pelaku dan penerima manfaat utama pariwisata.
Potensi Tersembunyi Tanjung Karang
Desa Tanjung Karang memiliki berbagai potensi yang dapat dikembangkan, antara lain:
- Pantai eksotis dan laut yang kaya hasil tangkapan
- Budidaya rumput laut yang khas
- Kuliner lokal berbasis hasil laut
- Seni dan budaya tradisional yang hidup
- Kerajinan tangan berbahan lokal
Sebagai catatan, desa ini bahkan masuk dalam daftar 500 besar Desa Wisata Indonesia dari total 6.016 desa yang disurvei selama dua tahun berturut-turut.
Keberhasilan pengembangan desa wisata sangat ditentukan oleh keterlibatan aktif masyarakat. Dalam hal ini, warga Tanjung Karang menunjukkan antusiasme tinggi. Gotong royong sebagai nilai lokal terus dilestarikan, demikian pula dengan semangat belajar dan beradaptasi dalam menyambut wisatawan.
Partisipasi warga dalam pelatihan dan diskusi menjadi fondasi penting. Mereka menyadari bahwa dengan meningkatkan keterampilan, seperti pelayanan tamu, pengelolaan homestay, hingga promosi digital, mereka bukan hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru.
Tantangan yang Perlu Dijawab
Meski potensi besar dimiliki, masih ada beberapa tantangan mendasar:
- Minimnya pemahaman masyarakat tentang konsep desa wisata
- Kurangnya pelatihan terkait hospitality dan sanitasi
- Lemahnya kemampuan branding dan promosi digital
- Perlu adanya rencana jangka panjang agar program ini berkelanjutan
Untuk itu, program pelatihan dan pendampingan harus berkelanjutan, tidak hanya sesaat. Kolaborasi antara desa, akademisi, dan pemerintah daerah menjadi elemen penting menuju keberhasilan.